Belum lama ini, petugas kepolisian Bandara Internasional Soekarno-Hatta
mengamankan sekitar 50 preman yang berkeliaran di bandara internasional
tersebut, mulai dari calo tiket, porter liar, hingga sopir taksi
"tandem". Penertiban semacam itu ternyata tak membuat kapok para preman.
Mereka tetap berkeliaran di bandara dan meresahkan para penumpang.
Premanisme juga terjadi di bandara lain, seperti Bandara Internasional
Lombok. Di sini pemerasan oleh preman dilakukan terhadap kalangan jasa
pariwisata resmi di bandara yang baru dioperasikan 1 Oktober 2011 dan
diresmikan pada 20 Oktober 2011 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Keberadaan preman di bandara, menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo,
akan tetap ada jika bandara masih dalam kondisi sekarang ini. Sudah
saatnya dijadikan sebagai restricted area (area terbatas). Di banyak
negara, bandara daerah terbatas. Orang tidak boleh "nongkrong" tanpa
tujuan yang jelas di bandara. "Kalau mau aman dan nyaman, jadikan bandara sebagai restricted area,
bukan wilayah publik seperti terjadi hampir semua bandara di Indonesia.
Coba lihat, bandara Soetta, sebagai bandara internasional seharusnya
petugas berani menegur calo, porter liar atau orang yang hanya
duduk-duduk tanpa tujuan yang jelas di bandara," kata Sudaryatmo dalam
perbincangan dengan wartawan Harian Umum Suara Karya, Tri Wahyuni di Jakarta, baru-baru ini. Namun, pria kelahiran Klaten, Jateng, 47 tahun lalu itu mengakui,
bicara soal keamanan dan kenyamanan bandara akan omong kosong jika
kondisi bandara masih over kapasitas seperti saat ini. Misalkan Bandara
Soetta, kapasitas di disain hanya untuk 22 juta penumpang per tahun,
namun saat ini ada sekitar 50 juta orang mondar-mandir di bandara per
tahunnya. Kondisi itu, lanjut alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun
1991 ini, hampir sama di semua bandara di Tanah Air yang sebagian
terlambat dalam mengantisipasi lonjakan penumpang. Sehingga, kondisinya
menjadi over kapasitas yang ujung-ujungnya tak hanya berdampak pada
pelayanan, tetapi juga keamanan terbang (safe flight). "Coba perhatikan kalau kita naik pesawat dan tiba di Bandara Soetta
sore hari, biasanya kita harus menunggu dengan pesawat putar-putar di
langit Jakarta sekitar 10 menit sebelum landing. Menurut kamu, kondisi
seperti itu serem tidak. Bikin jantung kamu deg-degan juga, kan," ucap
Sudaryatmo. Karena itu, ia menilai, pemerintah harus segera melakukan redisain
bandara-bandara yang ada di Indonesia. Karena, bukan saja soal over
kapasitas, tetapi bagaimana dengan keamanan terbang dengan nyawa manusia
sebagai taruhannya. Bagaimana menghapus keberadaan preman di bandara?
Jadikan, bandara sebagai restricted area (wilayah terbatas). Artinya,
hanya orang yang punya kepentingan saja yang boleh masuk. Seleksi orang
yang masuk harus lebih ketat. Orang tidak boleh nongkrong di bandara
tanpa tujuan yang jelas. Tanya setiap orang apa keperluannya di bandara.
Kalaupenumpang, tolong tunjukkan tiket. Tetapi, kalau mau jemput, lebih
tertib. Bandara di Indonesia kan masih dianggap sebagai public area, area
publik yang siapa saja bisa dengan santai duduk-duduk di bandara tanpa
keperluan yang jelas. Karena, rumah mereka yang dekat dengan bandara.
Bandara jadi tempat main dan mencari nafkah para pihak, tanpa disertai
kompetensi yang jelas. Berbeda dengan negara maju, seperti Jepang dan Australia, letak bandara
mereka jauh sekali dari pemukiman. Sehingga orang malas ke bandara jika
tidak ada perlunya. Di negara maju, orang malas tinggal dekat bandara
karena pasti bising. Di Indonesia beda sekali, justru pemukiman di sekitar bandara menjadi
tidak terkontrol. Melihat banyak uang berseliweran di bandara, warga
yang tinggal di seputaran bandara pun kemudian mencari nafkah di sana.
Mulai dari calo, ojek motor, porter liar hingga menjadi supir taksi
gelap. Kalau sudah begini kondisinya, sulit sekali mengontrolnya,
kecuali petugas berani bersikap tegas. Apa yang harus dilakukan untuk meminimalisasikannya? Pemerintah seharusnya sejak awal berani tegas meminta kepada pemilik
tanah untuk tidak membangun pemukiman di sekitar bandara. Untuk itu,
kepada pemilik lahan, pemerintah memberi kompensasi karena tanahnya
dipergunakan secara tidak optimal. Tetapi, tanah masih bisa digunakan
untuk bertanam bukan untuk tempat tinggal.
Saat akan membangunpun mereka harus memiliki izin khusus, karena lokasi
tanahnya yang termasuk restricted area. Tidak jor-joran seperti
sekarang ini sehingga kondisinya sudah tak terkontrol. Jadi susah juga
jika kita bicara pemberantasan preman di bandara, jika diseputar bandara
masih banyak pemukiman. YLKI pernah melakukan survei terkait dengan pelayanan bandara? YLKI pernah membuka bulan pengaduan seputar fasilitas dan pelayanan di
bandara Soekarno-Hatta (Soetta). Pengaduan masyarakat macam-macam mulai
dari toilet yang tak bersih, calo tiket, porter liar, supir taksi nakal,
pesawat yang sering delay (terlambat berangkat) hingga tol bandara yang
kurang petunjuk jalannya. Ada juga laporan parkir mobil yang tidak
aman. Keluhan tertinggi pada toilet bandara yang kotor dan bau. Tetapi sekali
lagi, bagaimana kita mau bicara soal pelayanan prima, kalau kapasitas
bandara- di hampir banyak bandara di Indonesia- sudah over kapasitas. Yang menarik adalah pemerintah daerah tidak menganggap toilet umum
sebagai bagian dari pelayanan kota. Karena tidak ada yang mengurus maka
toilet umum terbengkalai. Lantas muncul orang yang memungut uang depan
toilet umum. Sehingga kebersihan toilet dibebankan kepada publik.
Padahal, prinsip dasar dari toilet umum seharusnya bebas biaya. Seharusnya pelayanan bisa lebih baik, karena setiap penumpang dipungut aiport tax yang cukup besar? Hal itu silakan ditanyakan ke pengelola bandara, sudah digunakan untuk
apa saja uang airport tax dari para penumpang. Padahal, pelayanan yang
diberikan pengelola bandara belum sesuai dengan harapan para penumpang. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di bandara kita? Persoalan ini sebenarnya berawal dari pertumbuhan penumpang yang tidak
seimbang dengan peningkatan infrastruktur di bandara. Misalkan bandara
Soetta. Bandara yang beroperasi tahun 1985 itu pada awalnya hanya
didesain untuk 18 juta penumpang per tahun yang mencakup dua terminal
yaitu 1 dan 2. Kapasitas bandara Soetta ditingkatkan menjadi 22 juta orang per tahun
dengan dibangunnya terminal 3. Ternyata pertumbuhan orang naik pesawat
melesat tajam, yang tidak diantisipasi oleh bandara Soetta, hingga
menjadi 50 juta per tahun. Akibatnya, bandara menjadi seperti "pasar"
yang penuh sesak. Kalau sudah begini kondisinya, rasanya sulit bicara
soal pelayanan prima. Siapa yang salah dalam masalah ini? Belajar dari kasus ini, kelihatan betapa buruknya perencanaan
pemerintah dan operator dalam mengantisipasi pertumbuhan kelas menengah
yang menggunakan pesawat sebagai transportasi. Bahayanya, bukan saja
berdampak pada pelayanan, tetapi juga keselamatan penumpang. Misalkan bandara Soetta. Saya senangmencontohkan bandara Soetta karena
saya lebih faham dibandingkan bandara-bandara lain. Pada desain awal
bandara Soetta pada setiap jam ada 90 pergerakan pesawat baik take off
maupun landing. Artinya, dari 2 runway yang ada terjadi pergerakan
pesawat setiap 1,5 menit. Sekarang bisa saya katakan, respon pergerakan pesawat di bandara Soetta
rendah sekali. Setiap jam hanya 52 pergerakan. Karena itu, bandara
Soetta sudah tidak bisa dibebani penerbangan baru, kecuali di malam
hari. *** Kendala penerbangan malam adalah bandara di daerah yang belum siap.
Apalagi di wilayah Indonesia Timur dengan perbedaan waktu 2 jam. Kita bisa cermati bandara Soetta di sore hari. Pesawat yang akan
landing harus antri dengan berputar-putar dulu di langit Jakarta.
Kondisi ini tentu saja menyeramkan bagi penumpang, takut jatuh karena
kehabisan avtur. Upaya apa yang harus dilakukan? Saya mendengar kabar bahwa akan ada rencana pembangunan
runway (landasan) ketiga di tengah landasan yang ada. Untuk membangun
fasilitas semacam itu kan butuh waktu, padahal situasinya sudah sangat
crowded. Seharusnya fasilitas semacam ini sudah dipersiapkan ketika kebutuhan
masyarakat akan pesawat semakin tinggi, bukan sudah over kapasitas baru
dibangun. Telat memang, tetapi masih lebih bagfus dibandingkan tidak
melakukan upaya apa-apa. Tampaknya pemerintah tidak serius soal keselamatan penumpang ya? Betapapun jeleknya urusan pelayanan bandara, urusan keselamatan harus
menjadi standar pelayanan. Kita tidak boleh main-main dengan
keselamatan. Tetapi, sayangnya, ada kecenderungan pada pemerintah kita,
setelah ada kecelakaan pesawat, baru mendapat perhatian. Padahal
kecelakaan semacam itu bisa dicegah, seandainya pemerintah melakukan
sejumlah tindakan antisipasi.
Maskapai penerbangan berlomba-lomba membeli pesawat baru. Lalu, pesawat
itu mau parkir di mana? Tingkat pertumbuhan kebutuhan pesawat terbang
saat ini memang ada di wilayah Asia Pasifik. Tetapi sayangnya, untuk
kasus indonesia tidak diimbangin dengan perbaikan infrastruktur,
airtraffic control hingga ke sumber daya manusianya. ***
No comments:
Post a Comment